Air putih dapat mengembalikan energi dengan cepat ke dalam tubuh kita (Thinkstock). |
Siapa bilang puasa identik dengan umat Islam
saja? Sesungguhnya dalam tradisi agama lain pun mempunyai tradisi
berpuasa, tapi momennya berbeda-beda.
Andres Moller, peneliti antropologi agama asal Swedia dalam bukunya Ramadan in Java: The Joy and Jihad of Ritual Fasting (2005), menuturkan bahwa puasa juga ada dalam tradisi Yahudi, Katolik, Kristen, dan agama-agama India. Dalam tradisi Yahudi, lanjut Moller, sebagaimana termaktub dalam kitab sucinya Yom Kippur atau Hari Taubat, hanya terdapat satu hari untuk berpuasa.
Meskipun demikian, setelah pengasingan Babilonia, beberapa hari lagi ditambahkan untuk berpuasa. Tujuannya, untuk memperingati hari-hari atau momen-momen penting dalam sejarah Yahudi
Selain itu, umat Yahudi juga dapat berpuasa secara individual dan pribadi. Misalnya, kedua mempelai dapat berpuasa pada hari pernikahan mereka. Orang-orang Yahudi yang soleh juga dapat berpuasa setiap hari Senin dan Kamis (sheni va-hamish).
Sementara umat Kristiani pada umumnya berangggapan bahwa Isa al-Masih (Yesus Kristus) tidak secara tegas menentukan masalah puasa. Dengan begitu, hal-hal serupa diserahkan kepada gereja. Tapi sebagian umat biasanya berpuasa pada hari Rabu dan Jumat dalam minggu Paskah.
Adapun puasa dalam tradisi agama-agama India mempunyai latar belakang lain lagi. Agama dan kebudayaan yang berasal dari India pada umumnya dengan gampang disangkutpautkan dengan asketisme dan penahanan nafsu.
Menyitir Nanayakkara SK dalam Encyclopaedia of Buddhism (1990), Moller mengisahkan bahwa Siddharta Gautama pun kerap berpuasa saat dia sedang mencari Jalan Budha.
Gautama berpendapat bahwa orang-orang seharusnya tidak makan dan minum secara berlebihan (bhojane mattannuta). Kebijaksanaan ini secara khusus berlaku bagi para biarawan. Makanan yang berlebihan “mengakibatkan kebosanan, kemalasan, kelambanan, dan juga membatasi kearifan”, begitu argumen Gautama. Maka, makan berlebihan harus dihindari orang Budha. Jika kebijaksanaan tersebut diamati dengan seksama, kebiasaan demikian juga dapat dikatakan sejenis puasa.
Agama Hindu dan Jain, di lain pihak, mengenal beberapa saat ketika para penganutnya dianjurkan berpuasa. Umat Hindu dan Jain yang sekaligus orang pertapa dapat berpuasa ketika melakukan ziarah dan juga ketika diadakan berbagai festival keagamaan.
Perempuan Jain juga berpuasa dengan harapan mendapat suami yang baik. Ada juga anggapan dalam bahwa puasa dapat mengurangi jumlah karma. Dengan kata lain, dalam tradisi Jain puasa dapat dijadikan kendaraan pembebasan dalam tradisi ini.
(Rusman Nurjaman/Intisari-online.com)
Andres Moller, peneliti antropologi agama asal Swedia dalam bukunya Ramadan in Java: The Joy and Jihad of Ritual Fasting (2005), menuturkan bahwa puasa juga ada dalam tradisi Yahudi, Katolik, Kristen, dan agama-agama India. Dalam tradisi Yahudi, lanjut Moller, sebagaimana termaktub dalam kitab sucinya Yom Kippur atau Hari Taubat, hanya terdapat satu hari untuk berpuasa.
Meskipun demikian, setelah pengasingan Babilonia, beberapa hari lagi ditambahkan untuk berpuasa. Tujuannya, untuk memperingati hari-hari atau momen-momen penting dalam sejarah Yahudi
Selain itu, umat Yahudi juga dapat berpuasa secara individual dan pribadi. Misalnya, kedua mempelai dapat berpuasa pada hari pernikahan mereka. Orang-orang Yahudi yang soleh juga dapat berpuasa setiap hari Senin dan Kamis (sheni va-hamish).
Sementara umat Kristiani pada umumnya berangggapan bahwa Isa al-Masih (Yesus Kristus) tidak secara tegas menentukan masalah puasa. Dengan begitu, hal-hal serupa diserahkan kepada gereja. Tapi sebagian umat biasanya berpuasa pada hari Rabu dan Jumat dalam minggu Paskah.
Adapun puasa dalam tradisi agama-agama India mempunyai latar belakang lain lagi. Agama dan kebudayaan yang berasal dari India pada umumnya dengan gampang disangkutpautkan dengan asketisme dan penahanan nafsu.
Menyitir Nanayakkara SK dalam Encyclopaedia of Buddhism (1990), Moller mengisahkan bahwa Siddharta Gautama pun kerap berpuasa saat dia sedang mencari Jalan Budha.
Gautama berpendapat bahwa orang-orang seharusnya tidak makan dan minum secara berlebihan (bhojane mattannuta). Kebijaksanaan ini secara khusus berlaku bagi para biarawan. Makanan yang berlebihan “mengakibatkan kebosanan, kemalasan, kelambanan, dan juga membatasi kearifan”, begitu argumen Gautama. Maka, makan berlebihan harus dihindari orang Budha. Jika kebijaksanaan tersebut diamati dengan seksama, kebiasaan demikian juga dapat dikatakan sejenis puasa.
Agama Hindu dan Jain, di lain pihak, mengenal beberapa saat ketika para penganutnya dianjurkan berpuasa. Umat Hindu dan Jain yang sekaligus orang pertapa dapat berpuasa ketika melakukan ziarah dan juga ketika diadakan berbagai festival keagamaan.
Perempuan Jain juga berpuasa dengan harapan mendapat suami yang baik. Ada juga anggapan dalam bahwa puasa dapat mengurangi jumlah karma. Dengan kata lain, dalam tradisi Jain puasa dapat dijadikan kendaraan pembebasan dalam tradisi ini.
(Rusman Nurjaman/Intisari-online.com)